Solusi Terbaik Tambal Bengkak Biaya Kereta Cepat Rp28 T Tanpa Utang
05 Agustus 2022, 08:48:02 Dilihat: 1276x
Jakarta, -- Proyek Kereta CepatJakarta-Bandung (KCJB) ditargetkan mulai beroperasi pada 2023. Saat ini pembangunan fisik proyek tersebut sudah mencapai kisaran 76 persen.
Sedangkan perkembangan investasi sudah mencapai 85 persen. Nantinya KCJB akan beroperasi di jalur ganda sepanjang 142,3 km yang berhenti di 4 stasiun yaitu; Stasiun Halim (Jakarta), Karawang, Padalarang, dan Tegalluar (Bandung).
Kendati demikian masih ada hambatan dalam pelaksanaan proyek tersebut. Salah satunya, datang dari lonjakan biaya.
Dalam proposal penawaran yang disampaikan pemerintah China pada 2015 lalu, Negeri Tirai Bambu menawarkan biaya pembangunan proyek yang hanya US$5,13 miliar.
Namun berdasarkan hitungan terbaru KAI, terjadi pembengkakan biaya proyek KCJB US$1,9 miliar atau Rp28,5 triliun. Dengan pembengkakan itu, anggaran pembangunan yang dibutuhkan naik jadi Rp118,5 triliun.
Tanpa basa basi, China Development Bank (CBD) sebagai pemegang proyek ini pun meminta Indonesia untuk ikut menanggung pembengkakan biaya tersebut. Merespons permintaan itu, Kementerian BUMN menyebut pembengkakan (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung akan ditutup dengan dana dari konsorsium pemegang saham dan pinjaman (loan) alias utang.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga merinci untuk konsorsium yang beranggotakan sejumlah BUMN seperti, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium China, Beijing Yawan HSR Co Ltd, besaran dana yang ditanggung sebesar 25 persen dari nilai pembengkakan proyek sesuai dengan komposisi saham.
Dalam hal ini, PSBI memegang 60 persen saham pada PT Kereta Cepat Indonesia (KCIC) sebagai pemilik proyek. Sementara, 40 persen sisinya dimiliki Beijing Yawan.
PSBI, kata Arya, diperkirakan menambal pembengkakan sebesar Rp4 triliun. Dana itu berasal dari penyertaan modal negara (PMN) yang masuk lewat PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.
Sementara, konsorsium China diperkirakan akan menambal Rp 3 triliun. Sedangkan 75 persen dari pembengkakan biaya akan ditutup melalui utang.
Ia menuturkan pinjaman itu akan atas nama KCJB. Namun, Arya belum membeberkan siapa yang akan memberikan pinjaman.
Pasalnya pihaknya pun masih mencari sumber pendanaan tersebut. Menanggapi rencana utang tersebut, Associate Director BUMN Research Group Lembaga Management UI Toto Pranoto menilai wajar jika CDB meminta pemegang saham menambah setoran modal.
"Pertanyaannya apakah berarti perlu PMN lewat APBN ? Ini sudah diputuskan bahwa KAI terima Rp4 triliun untuk menambah setoran modal proyek kereta cepat. Sebagian akan dipakai buat atasi cost overrun ini. Kalo tidak cukup gimana? Apakah PMN lagi ? Ini yang menjadi sensitif dan dipertanyakan publik sebelum proyek jalan . Karena kalau sepenuhnya didukung APBN maka risiko sepenuhnya di negara, padahal konsep awalnya bisnis ini adalah B to B," tutur Toto kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/8).
Sehingga, salah satu solusi yang menurutnya bisa dilakukan pemerintah adalah mencari strategic investor lain, diutamakan dari domestik.
"Konsekuensinya saham pemerintah bisa dilusi , tapi proyek bisa terselamatkan, dan value added proyek bisa di-retain di domestik. Kalau dengan alternatif utang baru dipastikan akan semakin sulit bagi BUMN untuk handling kelanjutan proyek ini," jelasnya.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menuturkan untuk menutup lonjakan anggaran proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, pemerintah harus melakukan skema yang tidak memberatkan APBN.
Pasalnya, di tengah ketidakpastian ekonomi, APBN sedang diperuntukkan sebagai shock absorber untuk meredam gejolak-gejolak seperti inflasi.
"Saya kira pemerintah harus betul-betul berhitung terkait dengan pembangunan kereta api cepat ini karena cukup besar pembengkakannya. Nah ini menurut saya, pemerintah harus lebih bijak dalam kondisi saat ini mestinya tidak membebani fiskal. Operasionalisasi KCIC itu besar, maintenance-nya besar, dan revenue-nya kan bergantung ke orang dan itu relatif bergantung pada daya beli masyarakat," katanya.
Menurutnya, solusi yang bisa dilakukan adalah mencari donatur non fiskal bersama sama, Indonesia dan China, seperti investor swasta yang bisa diajak bekerja sama, dengan skema private public partnership.
"Solusinya, konsorsium harus tanggung jawab, ya mencarilah donatur non fiskal bareng-bareng ya Indonesia dan China, jangan semuanya dikembalikan ke Indonesia dong. Ya meski pun Indonesia punya saham paling besar, tapi masa iya Indonesia yang tuntaskan semua masalah itu? Cari investor swasta yang bisa diajak kerja sama, private public partnership lah. Intinya jangan sampai beban fiskal makin berat," kata Rizal.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan utang bukanlah solusi tepat untuk menambal lonjakan biaya proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Apalagi dengan tekanan inflasi dan tren kenaikan suku bunga, ini akan menjadi beban yang mahal.
Menurutnya, agar tidak menjadi risiko APBN, pemerintah bisa megajukan keringanan utang. Indonesia sebagai Presidensi G20 bisa mengusulkan keringanan utang bagi negara berkembang.
"Nah memasukkan proyek KCJB ini sebagai proyek yang bisa diringankan beban utangnya terutama kepada China itu bisa jadi satu opsi. Jadi indonesia sebagai Presidensi G20 bisa mendorong pengampunan utang sebagian atau penurunan suku bunga," jelas Bhima.
Selain itu, opsi debt swap atau pertukaran utang juga bisa dilakukan oleh pemerintah.
"Jadi pertukaran utang. Kalaupun harus ditanggung Indonesia tapi secara pokok utang kepada China itu bisa dikurangi. Intinya cost overrun ini jangan sampai jadi beban baru, ini beban bersama Indonesia maupun China," imbuhnya.