Mana Taji Larangan Ekspor CPO, Kok Harga Minyak Goreng Masih Mahal?
12 Mei 2022, 15:56:16 Dilihat: 403x
Jakarta, -- Sudah nyaris dua pekan sejak Presiden Jokowi menerbitkan larangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng pada Kamis, 28 April 2022 lalu. Faktanya, harga minyak goreng masih mahal, pasokannya pun langka.
Murni, salah satu pedagang di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, mengatakan harga minyak goreng curah Rp20 ribu per liter sampai awal pekan ini. Harganya masih jauh dari harapan pemerintah, yaitu Rp14 ribu per liter.
"Pasokan (minyak goreng) yang curah masih agak susah sih sekarang, sering kosongnya," ungkap Murni kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/5).
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengaku tak heran harga minyak goreng masih tinggi dan stoknya terbatas. Sebab, harga minyak goreng sejatinya masih mengikuti tren harga CPO di pasar global.
Di bursa sawit Malaysia, harga CPO memang turun sejak Jokowi melarang ekspor, yakni dari kisaran 7.057 ringgit menjadi 6.377 ringgit. Artinya, sebenarnya, harga CPO sudah turun 9,63 persen.
Masalahnya, produsen minyak goreng di dalam negeri masih menggunakan stok bahan baku lama dari kontrak pembelian terdahulu. Dengan demikian, harga produksinya masih mengikuti harga bahan baku yang sebelumnya masih tinggi.
"Apalagi, mengacu data KPPU dari 74 pabrik, cuma 10 pabrik yang terintegrasi kebun sendiri. Artinya, kebanyakan pabrik harus belanja bahan baku ke pasar, dan ketika beli, harga CPO-nya masih cukup tinggi, sehingga harga jual minyak goreng akan berbeda dengan pabrik yang terintegrasi dengan kebunnya sendiri," ujar Khudori.
Alasan lain yang mungkin membuat harga minyak goreng belum turun dan stok masih langka adalah produksi pabrik belum normal usai libur Lebaran 2022.
"Kebijakannya baru hampir dua minggu, bisa jadi baru mau produksi, masih perlu waktu, untuk distribusi juga, meski ini agak sulit juga memastikannya," katanya.
Dugaan lain, tidak semua produsen minyak goreng punya jalur distribusi yang cepat dan terdata dengan pasti. "Memang ribet, berbeda dengan Malaysia yang sistemnya sudah terintegrasi dan online," imbuhnya.
Dari dugaan-dugaan ini, Khudori ragu jika larangan ekspor bisa menyelesaikan masalah minyak goreng di Tanah Air. Apalagi, mewujudkan mimpi pemerintah yang ingin harga minyak goreng curah Rp14 ribu per liter di pasar.
"Kemungkinannya tetap tidak bisa tercapai karena ini semua tetap bergantung bahan baku yang masih tinggi harganya," tekan Khudori.
Masalah lain, pengusaha belum tentu benar-benar menghentikan ekspor turunan CPO. Pasalnya, yang dilarang cuma CPO, RBD palm oil, RBD palm olein, dan minyak jelantah (UCO).
"Yang di luar itu mestinya masih bisa untuk diekspor. Jadi bisa jadi nanti mereka (pengusaha) alihkan (CPO) ke produk lain yang tidak dilarang ekspornya," jelasnya.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda punya pendapat berbeda. Menurut dia, masalah minyak goreng dari sisi stok dan harga belum terselesaikan karena memang para pengusaha melakukan kartel alias persekongkolan.
"Mereka berusaha membuat harga keekonomian baru di level harga yang sekarang, makanya mereka menciptakan kondisi yang langka dan 'wajar jika mahal'. Harga yang sekarang ini harga kartel di mana perusahaan menikmati keuntungan sebesar Rp3.000-5.000 per liter," tutur dia.
"Makanya larangan ekspor CPO dan produk turunannya tidak menjamin harga minyak goreng turun dalam waktu beberapa minggu ke depan," lanjutnya.
Padahal, menurut Huda, pabrik sudah produksi, tapi stok yang didistribusikan ke pasar tetap dibatasi. Harga yang dilepas ke pasar pun tetap tinggi.
"Toh masyarakat juga ada yang mau (beli di harga tinggi) dan perusahaan tetap bisa survive (bertahan). Terlebih ada program BLT minyak goreng di mana potensi keuntungan (pengusaha) hingga Rp1,2 triliun," terang dia.
Dengan kondisi pasar saat ini, perusahaan juga menerima subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Semua akumulasi ini membuat pengusaha kuat melawan pemerintah, meski ada larangan ekspor sekalipun.
Huda mengatakan kebijakan larangan ekspor mutlak mendapatkan dukungan dari kebijakan lain. Misalnya, memastikan para pengusaha benar-benar menaati larangan ekspor.
Artinya, tidak ada yang curi-curi celah untuk tetap mengekspor dan tidak memasok CPO-nya ke pasar dalam negeri. Kebijakan lain yang juga perlu ialah tetap memasang kebijakan harga eceran tertinggi (HET) bagi minyak goreng.
"Saat ini minyak goreng curah ada HET, namun masih sangat mahal tersedia di konsumen akhir karena tidak ada ketegasan dari pemerintah bahwa HET merupakan harga ke konsumen akhir, bukan dari produsen ke pengecer," tegas Huda.
Bahkan, menurutnya, HET juga perlu dipasang ke minyak goreng kemasan premium. Tujuannya, agar tidak ada pengemasan ulang bagi minyak goreng curah ke premium. "Jadi tidak ada insentif bagi pelaku pengepakan seperti ini," ucapnya.
Kemudian, pemerintah harus menelusuri pos rantai pasok mana yang membuat harga minyak goreng jadi mahal. Apakah sudah dari produsen atau karena distributornya terlalu banyak? "Kalau perlu, pedagang besar dan pengecer juga ikut diawasi," tekannya.
Sepakat, Khudori juga menilai implementasi kebijakan HET perlu diawasi dengan ketat. Selain itu, pemerintah juga perlu mengawasi agar tidak ada distributor-distributor dadakan yang menambah panjang rantai distribusi minyak goreng yang menambah tinggi harganya di pasar.
Yang tak kalah penting adalah memastikan tidak ada pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, di mana mereka mencoba mencari untung dengan menyulap minyak goreng curah jadi minyak goreng dalam kemasan.
"Karena ini sangat mungkin menciptakan disparitas baru terhadap harga. Karena harga minyak goreng kemasan Rp25 ribu per liter, curah Rp15 ribu, jadi mereka bisa diam-diam untung Rp10 ribu dengan penyelewengan ini, dengan minyak oplosan ini," pungkasnya.