Saran Ahli Hukum Agar Uang Korban Investasi Bodong Bisa Kembali
21 April 2022, 09:40:26 Dilihat: 633x
Jakarta, -- Binary option menjadi investasi bodong yang masih merajalela di tengah hiruk pikuk perkembangan teknologi. Memang hal ini menjadi ironi.
Namun kejadian ini juga sekaligus menjadi pilu bagi para korban yang telah bertaruh harta di investasi ilegal tersebut.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bahkan harus memanggil sejumlah nama sebagai saksi atas kasus yang merugikan banyak orang tersebut. Hingga akhirnya, beberapa nama influencer ditetapkan sebagai tersangka seperti Doni Salmanan hingga Indra Kenz.
Bareskrim Polri menyita sejumlah aset milik tersangka kasus penipuan investasi tersebut. Tak tanggung-tanggung, aset-aset yang disita pihak berwenang nilainya bahkan mencapai puluhan miliar rupiah.
"Untuk aset yang sudah kita sita kurang lebih ada Rp55 miliar," kata Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tipideksus) Bareskrim Polri Kombes Chandra Sukma Kumara dalam konferensi pers penyitaan aset Indra Kenz, Jumat (25/3).
Aset Indra Kenz yang disita antara lain satu unit mobil mewah Ferrari California 2012, satu unit mobil Tesla Model 3, uang tunai senilai Rp1,24 miliar, enam unit rumah dan bangunan yang tersebar di wilayah Medan, Sumatera Utara dan Alam Sutera di Tangerang.
Kemudian, influencer dengan nama asli Indra Kesuma tersebut juga disinyalir mengalirkan dana puluhan miliar rupiah ke rekening aset kripto.
"Informasi ada dugaan ada Rp58 miliar yang ada di kriptonya di luar negeri. Itu cepat kita tangani, nanti berkembang lagi, dikirim ke kita lagi. Jadi berkembang terus, tidak setop di sini saja," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan.
Adapun, kerugian yang harus ditanggung para korban yang berjumlah 40 orang diperkirakan mencapai Rp44 miliar.
Nasib Aset Tersangka
Ketua Kelompok Kehumasan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Natsir Kongah mengatakan bahwa pihaknya masih terus melakukan penelusuran soal aset-aset kripto yang berkaitan dengan tersangka kasus penipuan investasi tersebut.
"Masih terus kita lakukan pekerjaan sesuai dengan amanat undang-undang. Masih belum ada (perkembangan terkini)," kata Natsir kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/4).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan nasib seluruh aset yang disita akan tergantung pada jenis hukum yang digunakan.
Apabila hukum pidana, maka aset tersebut akan diambil alih oleh negara. Namun, apabila aset ingin dikembalikan kepada korban harus melalui jalur hukum perdata.
"Tergantung mana duluan, kalau putusan perdata duluan maka akan dibagikan (kepada korban), namun kalau putusan pidana kemungkinannya akan diambil untuk negara," kata Fickar, Senin (18/4).
Korban bisa mengajukan ganti rugi atas kasus tersebut dengan menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) yang berkaitan dengan kerugian yang disebabkan kesalahan orang lain.
"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut," tulis Pasal 1365 KUHP.
Walau demikian, pengembalian aset korban tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tengok saja kasus penipuan jamaah haji First Travel beberapa tahun lalu yang telah diputuskan Mahkamah Agung (MA).
Hingga kini asetnya tidak pernah dicairkan untuk para korban. Bahkan, Komisi Yudisial (KY) juga menegaskan bahwa kasus putusan MA soal First Travel tidak ada yang salah dan memang asetnya harus dikembalikan kepada negara.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ade Adhari mengatakan bahwa penyitaan aset-aset para tersangka oleh kepolisian merupakan bentuk pembuktian di atas hukum yang diperbolehkan sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 38 Ayat 1.
Namun, ia menilai bahwa praktik penegakan hukum di Indonesia masih sebatas pengenaan sanksi pidana kepada pelaku. Padahal, penegak hukum harus memberikan perlindungan terhadap korban dengan mengganti kerugiannya.
Ade pun menjelaskan bahwa korban bisa mendapat ganti rugi melalui restitusi dan hal ini dijamin oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau sesudah putusan hukum tetap dari pengadilan.
"Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis," tulis UU Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 7A Ayat 1.
Apabila mengajukan restitusi sebelum putusan hukum tetap, maka korban dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan mengajukan kepada penuntut umum untuk dimasukkan ke dalam tuntutan.
"Namun apabila diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, LPSK masih dapat mengajukannya kepada pengadilan untuk mendapat penetapan," kata Ade, Rabu (20/4).
Oleh karena itu, Ade berharap momentum ini dapat digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menegakkan restorative justice dengan memastikan korban mendapatkan restitusi atas kerugian yang diterimanya.
Ia pun menyarankan kepada para korban penipuan investasi binary option untuk melakukan beberapa hal agar nasib asetnya tak seperti korban First Travel.
"Para korban harus kerja sama untuk kemudian membangun semacam victim forum. Hal ini penting untuk mengawal agar kerugian yang diderita bisa mendapat restitusi dan pelaku dapat dipidana setimpal dengan perbuatannya," ucapnya.
Kemudian, para korban bisa bekerja sama dengan LPSK, penuntut umum, hingga pengadilan untuk memastikan bahwa korban mendapat ganti rugi.
"Memastikan korban mendapatkan ganti kerugian melalui restitusi adalah wujud penegakan hukum progresif yang betul-betul dijiwai semangat restorative justice untuk memastikan korban mendapatkan yang dibutuhkan atas kerugian yang diderita," tutupnya.