Beda Sikap RK, Anies Baswedan, dan Wahidin Halim soal UMP Buruh
05 Januari 2022, 11:29:38 Dilihat: 365x
Jakarta, -- Sejak UU Cipta Kerja ditetapkan berstatus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), polemik penetapan upah minimum provinsi (UMP) buruh terus bergulir.
Walau pemerintah pusat bergeming tetap mengacu pada turunan UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, kepala daerah punya tanggapan berbeda atas tuntutan buruh.
Misalnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang merevisi upah minimum provinsi (UMP) dari semula 0,85 persen menjadi 5,1 persen atau naik Rp225.667 menjadi Rp4.641.854 per bulan.
Bahkan, Anies mengancam bakal mengenakan sanksi bagi pengusaha yang tak patuh revisi upah minimum provinsi (UMP). Aturan mengacu pada Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021.
Berdasarkan aturannya, besaran upah itu berlaku bagi pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari satu tahun. Sementara besaran upah untuk pekerja dengan memiliki masa kerja lebih dari satu tahun menggunakan ketentuan struktur dan skala upah.
Pengusaha yang sudah memberikan upah lebih tinggi dari besaran UMP 2022 dilarang mengurangi atau menurunkan pemberian upah kepada pekerja. Bila ada perusahaan yang melanggar, maka akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan.
"Perusahaan yang melanggar ketentuan dimaksud dalam diktum ketiga, diktum keempat, dan diktum kelima, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," terang putusan keenam.
Bertolak belakang dengan Anies, Gubernur Banten Wahidin Halim malah minta pengusaha untuk mengganti pegawai yang tidak mau menerima gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan pemerintah provinsi. Menurutnya, masih banyak pekerja yang mau digaji antara Rp2,5 juta hingga Rp4 juta per bulan.
"Saya bilang ke pengusaha, ya kalian cari tenaga kerja baru, masih banyak yang nganggur, yang butuh kerja, yang cukup gaji Rp2,5 juta, Rp4 juta juga masih banyak," kata Wahidin, Senin (6/12).
Ia juga mengaku tidak mau ambil pusing aksi mogok kerja nasional yang dilakukan serikat buruh. Baginya aksi tersebut hanyalah bentuk luapan emosi dan kekecewaan atas kenaikan upah yang tidak sesuai dengan keinginan buruh.
Akibat pernyataan tersebut, Wahidin mendapat penolakan keras dan aksi demonstrasi yang berujung pada penerobosan ke ruang kerjanya. Tak terima, Wahidin pun melapor ke kepolisian.
Namun, usai buruh meminta maaf, Wahidin kemudian mencabut laporan dan sepakat berdamai dengan para buruh setelah kedua pihak bertemu di rumah pribadinya di Pinang, Kota Tangerang, Banten, Selasa (4/1) malam.
Tak seperti Anies dan Wahidin yang secara terang-terangan memihak buruh atau pengusaha, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memilih mengambil jalan tengah dengan menaikkan upah buruh di Jawa Barat dengan masa kerja di atas 1 tahun sebesar 3,27 persen sampai 5 persen.
Keputusan tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Jabar Nomor 561/KEP. 874-Kesra/2022 tentang Kenaikan Upah Bagi Pekerja/ Buruh dengan Masa Kerja 1 Tahun atau Lebih pada Perusahaan di Jawa Barat. Beleid ini diteken Ridwan pada 31 Desember 2021 lalu.
"UMK untuk 2022 tetap mengikuti PP 36 yang mengatur bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun kenaikan (upahnya) berkisar 0 persen-1,72 persen. Untuk buruh dengan masa kerja di atas 1 tahun, tidak diatur rumusnya oleh PP 36. Semoga ini menjadi kemaslahatan bagi buruh dan pengusaha dan kondusifitas kebangkitan ekonomi 2022," katanya seperti dikutip dari akun Instagramnya, Kamis (30/12).
Tak ayal, keputusan tak memihak Ridwan tersebut mendapat kecaman baik dari pengusaha maupun dari buruh. Bila Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai keputusan Ridwan melawan hukum, Ketua DPP Apindo Jawa Barat Ning Wahyu Astutik mengatakan keputusan tak berdasar hukum.