Tak Tepat Setop Minyak Goreng Curah di Tengah Harga Selangit
30 November 2021, 10:13:13 Dilihat: 360x
Jakarta, -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) bakal menyetop penjualan minyak goreng curah mulai 1 Januari 2022 mendatang. Sebagai gantinya, pemerintah mewajibkan penjualan minyak goreng hanya dalam kemasan.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menuturkan kebijakan ini dilatarbelakangi oleh elastisitas minyak goreng curah terhadap bahan baku. Artinya, ketika bahan baku utamanya, minyak sawit (crude palm oil/CPO) naik, maka harga minyak goreng juga ikut naik.
Berbeda halnya dengan minyak goreng kemasan yang relatif terkendali karena bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup panjang, sehingga memudahkan pengendalian harga. Selain itu, penjualan minyak goreng curah juga terkait dengan perlindungan konsumen, di mana minyak goreng kemasan memberikan informasi produk.
Alasan lain, seluruh negara-negara di dunia sudah menjual seluruh minyak gorengnya dalam bentuk kemasan. Saat ini, hanya Indonesia dan Bangladesh saja yang masih menjual minyak goreng curah.
Adapun, larangan penjualan minyak goreng curah tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan.
Aturan itu ditetapkan dari hasil diskusi dengan para stakeholders yang terlibat, seperti produsen. Ia juga mengklaim sosialisasinya sudah dilakukan dan transisi penjualan disebutkan hanya sampai 31 Desember 2020.
"Ini hasil diskusi dengan stakeholders, baik itu produsen dan berbagai macam stakeholders lainya, sehingga terjadi beberapa penundaan dan ini Permendagnya sudah terbit sejak 31 Maret 2020," ujar Oke, Rabu (24/11).
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebut beleid larangan minyak goreng curah sudah ada sejak 2010 kala Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu masih menjabat sebagai menteri perdagangan.
Ia mengatakan pihaknya telah menanti 11 tahun untuk mengeksekusi aturan. Pasalnya, saat wacana dicetuskan banyak anggota GIMNI yang melakukan investasi untuk memenuhi kuota konsumsi yang selama ini dipasok dari minyak curah.
Sahat menaksir investasi dari 14 ribu packing line setara dengan triliunan rupiah, sayangnya ia tak dapat memberikan angka pasti berapa dana yang sudah dikucurkan.
"Kami sudah membuat surat pada Juni ke Kemendag supaya program ini betul-betul dilaksanakan karena kami sebagai mesin-mesin yang diinvestasikan, anggota kami sudah terlalu lama idle (menganggur)," jelasnya.
Menurut dia, motivasi utama program penarikan minyak goreng curah adalah soal kesehatan masyarakat. Lagi-lagi, ia menyebut bahwa minyak goreng curah yang tidak memuat informasi kelayakan konsumsi dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Sahat membantah bahwa aturan berbau politis agar komoditas minyak goreng dapat dimonopoli segelintir pengusaha. Ia mengaku terbuka dengan seluruh pihak yang mau ikut berjualan. Toh, kuota yang mesti dipenuhi bakal bergelimpah.
Dia menuturkan selama ini minyak goreng mendominasi oleh produk curah. Ia menaksir dari total konsumsi minyak goreng per tahun sebesar 4,9 juta ton, 70 persen di antaranya atau 3,5 juta ton merupakan minyak curahan.
"Banyak orang pikir ini supaya monopoli, politik apa di belakang ini? Enggak ada monopoli, kalau Anda mau silahkan join (bergabung). Gitu saja," imbuh dia.
Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai kebijakan menyetop minyak curah kurang tepat dilakukan pada 1 Januari 2022 nanti karena masih tingginya harga minyak CPO di level internasional. Kemendag juga memproyeksikan harga minyak goreng masih akan tinggi hingga tahun depan karena penurunan produksi CPO.
Faisal khawatir aturan ini bakal membuat masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam kalau tak ada lagi minyak curah di pasar-pasar. Aturan, lanjutnya, bakal paling menekan masyarakat kelas menengah bawah yang merupakan konsumen minyak curah.
Apalagi, kebijakan juga diterapkan saat pendapatan riil masyarakat masih terdampak pandemi covid-19. Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun depan yang hanya naik 1,09 persen pun tak bisa diharapkan mendongkrak daya beli.
Faisal juga mewanti-wanti pemerintah akan dampak kumulatif berbagai aturan baru yang bakal diterapkan bersamaan pada tahun depan. Misalnya, kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen dan pada saat bersamaan berbagai bantuan sosial (bansos) mulai dikurangi.
"Kalau semuanya bersamaan, saya khawatir ini berdampak besar ke masyarakat bawah, walau satu per satu kebijakan tidak terlalu signifikan tapi begitu bersamaan jadi berat," ungkapnya.
Mengingat ketergantungan masyarakat akan minyak curah juga tinggi, Faisal mengusulkan agar kebijakan ditunda dulu hingga harga acuan CPO melandai dan pendapatan masyarakat sudah kembali ke level normal.
Jika pemerintah ngotot memberlakukan awal tahun depan, ia menyebut mesti diberikan solusi untuk pada konsumen minyak curah yang selama ini menjadikan minyak murah sebagai solusi ekonomis.
Faisal menekankan pemerintah untuk memberi alternatif dengan harga yang tak jauh berbeda dari harga minyak curah. "Sekarang kalau minyak curah dilarang, apa opsi paling murah untuk masyarakat bawah? Tidak ada alternatif lain, jadi itu bukan solusi yang tepat untuk masyarakat," katanya.
Ekonom Indef Tauhid Ahmad menilai masalah utama yang bakal muncul dari kebijakan anyar ini tak jauh-jauh dari harga. Ia mengatakan mestinya ada periode transisi di mana masyarakat bisa menikmati harga minyak kemasan tidak jauh beda dengan minyak curah.
Memang, ia menuturkan harga antara minyak goreng curah vs minyak goreng kemasan sekitar Rp1.000-Rp2.000 per kilogram, tapi kalau diakumulasi kenaikan bakal terasa di kocek warga.
Tauhid mengatakan salah satu opsi yang bisa digunakan adalah mengecer minyak bermerek jeriken dalam kemasan sederhana. Dengan demikian, harga bisa ditekan dan kualitasnya pun terjamin.
Menjawab alasan Kemendag soal fluktuasi harga minyak curah, Ia menilai mestinya yang dibenahi adalah tata niaga yang panjang dari produsen ke konsumen. Tauhid menduga penyebab fluktuasi harga minyak goreng di pasar tradisional adalah karena banyaknya pihak yang menjembatani antara produsen dan konsumen.
"Masalahnya jalur tata niaga minyak goreng curah lebih panjang, bisa macam-macam distributornya. Ini yang menyebabkan fluktuasi minyak goreng curah lebih tinggi karena ada asimetrik informasi di dalamnya," terang dia.
Ia berpendapat pemerintah harus menyiapkan solusi. Misalnya, menjaga harga minyak dengan meningkatkan produktivitas atau mengeluarkan cadangan CPO yang ada. Tapi, solusi tersebut bersifat jangka panjang sementara kebijakan akan diterapkan dalam kurang lebih satu bulan lagi.
Oleh karena itu, Tauhid mengusulkan agar kebijakan ditunda dulu hingga pemerintah punya sistem terintegrasi yang memperbaiki dari hulu ke hilir. Dari hulu ia menyebut tata niaga dan produksi yang mesti dibenahi. Sedangkan di hilir, sisi marketing atau pemasaran yang harus dirombak.
Ia juga mengingatkan pemerintah untuk duduk bersama pekebun, pelaku industri CPO, serta pedagang untuk merembukkan berapa banyak produksi CPO yang akan dialokasikan untuk konsumsi minyak goreng dan berapa yang diekspor.
Tujuannya, agar kepentingan konsumsi dalam negeri diutamakan sehingga harga minyak goreng tidak fluktuatif. "Saya lebih setuju ditunda sebelum kita punya sistem terintegarasi dari hulu ke hilir," tutupnya.