Jakarta -- Ransomware kerap mendatangkan malapetaka pada sistem komputer, baik setelah seseorang mengklik tautan berbahaya dan tanpa sadar menginstal perangkat lunak atau dari kerentanan di server yang sudah ketinggalan zaman.
Salah satu masalah terbesar terkait ransomware saat ini adalah tebusan dari pelaku berupa uang hingga cryptocurrency, seperti bitcoin agar tidak dapat dilacak.
Sementara sebagian besar aktivitas ransomware berskala besar berasal dari kelompok kejahatan terorganisir, seperti halnya dengan jaringan pipa Amerika Serikat beberapa waktu lalu.
Melansir CNN, ransomware dilaporkan pertama kali ditemukan di komputer milik Eddy Willems yang bekerja untuk sebuah perusahaan asuransi di Belgia pada tahun 1989. Ransomware itu muncul usai Willems memasukkan floppy disk atau disket ke dalam komputernya.
Disket itu adalah salah satu dari 20.000 yang dikirim melalui pos kepada peserta konferensi AIDS Organisasi Kesehatan Dunia di Stockholm. Atasan Willems memintanya untuk memeriksa apa yang ada di dalamnya.
Saat memasukkan disket itu, Willems berharap untuk melihat penelitian medis. Sebaliknya, ia justru menjadi korban tindakan pertama ransomware.
Beberapa hari setelah memasukkan disket, komputer Willems terkunci dan muncul pesan yang menuntut agar dia mengirim US$189 atau Rp2,7 juta (kurs Rp14.269) dalam amplop ke PO Box di Panama.
"Saya tidak membayar tebusan atau kehilangan data karena saya menemukan cara untuk membalikkan situasi," kata Willems.
Willems merupakan salah satu orang yang beruntung. Pasalnya, beberapa orang mengalami kerugian akibat hal itu.
Setelah kejadian itu, Willems mengaku mulai mendapat telepon dari lembaga dan organisasi medis. Mereka bertanya bagaimana Willems mengatasi ransomware.
"Insiden itu menimbulkan banyak masalah. kerusakan pada masa itu. Orang kehilangan banyak pekerjaan," kata Willems, yang sekarang menjadi pakar keamanan siber di G Data, yang mengembangkan solusi antivirus komersial pertama di dunia pada tahun 1987.
Serangan ransomware tersebut sempat menjadi berita utama dan muncul di Virus Bulletin, sebuah majalah keamanan untuk para profesional sebulan kemudian.
"Meskipun konsepsinya cerdik dan sangat licik, program itu sebenarnya cukup tidak rapi," kata analisis dalam majalah itu tersebut. Namun, itu adalah pemerasan digital pertama. Tidak jelas apakah ada orang atau organisasi yang membayar tebusan.
Hasil penyelidikan disket tersebut dikirim ke alamat-alamat di seluruh dunia. Penegak hukum pun menelusuri alamat yang meminta tebusan dan menemukan seorang ahli biologi lulusan Harvard bernama Joseph Popp, yang sedang melakukan penelitian AIDS pada saat itu.
Dia ditangkap dan didakwa dengan berbagai tuduhan pemerasan, dan secara luas dikreditkan sebagai penemu ransomware, menurut situs berita keamanan CSOnline.com.
"Bahkan sampai hari ini, tidak ada yang benar-benar tahu mengapa dia melakukan ini," kata Willems.
Willems menduga ada porang yang terlibat selain Popp. Pasalnya, dia meyebut butuh uang dalam jumlah besar untuk mengirim disket beirisi ransomware itu.
Di sisi lain, beberapa laporan menunjukkan Popp telah ditolak oleh WHO untuk mendapatkan kesempatan kerja. Setelah penangkapannya di Bandara Schiphol Amsterdam, Popp dikirim kembali ke Amerika Serikat dan dipenjarakan.
Dia diduga memberi tahu pihak berwenang bahwa dia berencana menyumbangkan uang tebusan untuk penelitian AIDS.
Departemen Kehakiman AS baru-baru ini mengatakan tahun 2020 adalah tahun terburuk untuk serangan ransomware. Pakar keamanan yakin serangan ransomware terhadap perusahaan dan individu akan terus berkembang karena mudah dieksekusi, sulit dilacak, dan korban dapat dieksploitasi dengan uang yang banyak.
Sumber : cnnindonesia.com