HASIL ANALISA: Jalur Panjang Birokrasi PSBB untuk Penanganan Corona
09 April 2020, 09:00:01 Dilihat: 181x
Jakarta -- Penerapan karantina wilayah atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai sangat birokratis dan tak sesuai dengan sifat pandemi Virus Corona yang lintas wilayah. Aturan pengenaan sanksi bagi pelanggar pun dianggap kurang kuat.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah meneken Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Peraturan itu sudah mengatur dengan detail mengenai poin-poin yang wajib dipenuhi Pemerintah Daerah untuk mendapatkan persetujuan status PSBB dari pemerintah pusat. Sejauh ini, belum ada daerah yang disetujui usulan PSBB-nya.
Kapolri Idham Azis juga sudah lebih dulu mengeluarkan Maklumat Nomor Mak/2/III/2020 pada 19 Maret. Tujuannya, menekan laju penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia. Dalam maklumatnya, Kapolri meminta masyarakat untuk tidak mengadakan kegiatan yang mengumpulkan orang dalam jumlah banyak.
Terkait hal itu, polisi mengamankan 18 warga karena tak mematuhi Maklumat Kapolri, di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat, Jumat (3/4) malam. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan pihaknya memakai pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP.
Sekretarias Jendral Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai Permenkes tersebut malah menambah rumit rentang birokrasi sehingga berpotensi semakin lambatnya penanganan virus corona oleh Pemerintah.
"Sederhana saja, judul Permenkes itu adalah “Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19”. Intinya kan “percepatan”. Tapi dengan segala kompleksitas birokrasi tersebut, terkait prosedur dan syarat, maka tidak akan terjadi percepatan," kata Julius kepada CNNIndonesia.com.
Berbagai kompleksitas birokrasi itu terlihat antara lain, pertama, pada Pasal 4 yang berisikan cara penetapan status PSBB.
Pasal-pasal itu berisikan tentang “kewajiban” yang harus dipenuhi pemerintah daerah saat mengajukan permohonan PSBB kepada Kemenkes. Syarat itu diantaranya peningkatan kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu, dan laporan transmisi lokal.
"Setiap hari Pemerintah mengumumkan data tersebut ke publik melalui juru bicaranya," kata dia.
"Artinya, seharusnya Kementerian Kesehatan sudah memiliki data mengenai daerah mana saja yang sudah mendesak untuk menyelenggarakan PSBB atau bahkan sudah harus melakukan karantina wilayah," ia menambahkan.
Kedua, jalur birokrasi semakin panjang karena permohonan penerapan PSBB oleh Pemda harus dikaji kembali oleh tim yang dibentuk pihak Kemenkes berdasarkan Pasal 7 Permenkes 9 tahun 2020 tersebut.
Tim Penetapan ini beranggotakan 48 orang lintas instansi. Tantangan berikutnya adalah untuk menentukan teknis pelaksanaan koordinasi hingga pengambilan keputusan atas permohonan daerah.
"Ini sekilas terlihat komprehensif dengan adanya pembentukan tim, kajian lintas disiplin ilmu, namun jika diperhatikan semakin mendalam justru pengaturan menimbulkan kompleksitas dalam hal pertimbangannya," kata Julius.
Ketiga, Julius juga menyoroti aturan soal pertimbangan "kesiapan daerah" dalam rencana penerapan PSBB pada Pasal 9 ayat (2) Permenkes tersebut.
Ia menilai aturan tersebut justru membingungkan. Sebab, seluruh kesiapan daerah seperti kebutuhan dasar, sarana kesehatan, anggaran sudah seyogyanya menjadi tanggung jawab Pemerintah yang wajib dipenuhi. Bukan sebaliknya justru menjadi syarat untuk ditetapkannya PSBB.
"Ini salah kaprah. Karena justru daerah yang mengajukan PSBB butuh bantuan dari Pemerintah Pusat. Bukan sebaliknya," kata dia
"Penyebaran Covid-19 saat ini sudah tidak mampu dibatasi oleh sekat wilayah, sehingga usulan sudah tidak mungkin dilakukan oleh 1 wilayah tertentu saja, tetapi sudah harus ditentukan secara nasional.
Keempat, struktur dan peran Gugus Tugas Covid-19. Dalam Permenkes tersebut, Gugus Tugas, selain Menteri Kesehatan, punya peran memberikan usulan dan rekomendasi atas usulan PSBB dari pemerintah daerah.
Merujuk kepada Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020, Menteri Kesehatan dan Gubernur seluruh Indonesia sebetulnya sudah menjadi bagian dalam struktur keanggotaan Gugus Tugas.
"Sehingga tidak efektif apabila secara kelembagaan Gugus Tugas ini juga diberikan peran dalam proses penetapan PSBB. Apabila Gugus Tugas ingin mendapat peran maksimal, maka sebaiknya Gugus Tugas dijadikan sebagai forum pengambilan keputusan, karena pihak-pihak strategis sudah berkumpul di sana," tuturnya.
Berbagai rangkaian birokrasi itu, kata Julius, berbanding terbalik dengan semangat pemangkasan dan perampingan birokrasi yang berulangkali digaungkan Presiden Jokowi.
"Panjangnya birokrasi dalam penetapan PSBB oleh Menteri Kesehatan ini bertolak belakang dengan kampanye pemangkasan birokrasi yang rajin disuarakan oleh Presiden Joko Widodo dalam isu investasi," cetusnya.
Nihil Sanksi
Selain soal birokrasinya yang rumit, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyoroti soal ketiadaan sanksi tegas dalam Permenkes dan UU terkait dalam penetapan PSBB. Kondisi itu, membuat implementasi kebijakan menjadi sulit dan menjadi celah hukum bagi masyarakat yang melanggar aturan tersebut.
"Permenkes masih menyisakan celah bagi mereka untuk melanggar PSBB, karena tak ada sanksi yang mengatur," kata dia, dalam pesan singkatnya, Minggu (6/4).
Yusril menjelaskan bahwa sanksi hanya dapat diatur dalam UU. Kebetulan, Permenkes hanya mengatur soal keharusan daerah untuk bekerjasama dengan kepolisian dan hanya menyebut soal penegakan disiplin masyarakat. Sementara, UU Kekarantinaan Kesehatan tak mengatur sanksi bagi pihak yang melanggar aturan.
"PP aja tidak bisa ngatur [soal sanksi], apalagi Permen (Peraturan menteri). Nah, cilakanya UU Karantina Kesehatan tidak mengatur masalah ini," ucap mantan Menteri Hukum dan HAM ini.
Selain itu, ia juga mengkritisi soal kekuatan hukum dari Maklumat Kapolri. Baginya, hal itu bukan aturan yang bisa mengikat warga, terutama terkait sanksi pidana.
"Maklumat itu sejatinya adalah sebuah “pengumuman” tentang sesuatu, bukan berisi norma hukum yang mengatur kewenangan, hak dan kewajiban dan seterusnya," jelas dia.
Yusril pun mengaku sempat menyarankan soal penerbitan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) yang mengatur soal penanganan pandemi Corona secara komprehensif.
"Sebab saya berpendapat UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit dan UU Karantina Kesehatan sangat tidak memadai untuk menghadapi wabah corona ini," ujarnya.
"Tetapi Pemerintah tidak mau terbitkan Perppu. Nah, akhirnya peraturan apapun yang dibuat dengan mengacu kepada tiga UU di atas, semuanya serba tanggung," tandas Yusril.
Senada, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai aturan yang dipakai oleh polisi dalam menangkap pelanggar karantina, yakni pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan, bertentangan dengan asas legalitas hukum pidana. Sebab, pasal itu tidak tegas, multitafsir, dan tak memiliki kepastian hukum, terutama terkait klausul "tidak mematuhi".
Pasal 93 itu menyatakan setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta.
"Baik kata “mematuhi” maupun “tidak mematuhi”, merupakan rumusan klausul yang tidak jelas pengukurannya, dan menimbulkan multitafsir yang bila diletakkan pada aparat penegak hukum akan cenderung sewenang-wenang penerapannya," tutur LBH Jakarta.
Sumber : cnnindonesia.com