Menjadi Kritis di Era Industri 4.0 ala Djarum Foundation
07 Maret 2020, 09:00:01 Dilihat: 187x
Surabaya -- Ruangan jadi riuh di hari kedua Leadership Development yang diadakan oleh Djarum Foundation di Hotel Harris Surabaya, 1-4 Maret 2020. Sejak pagi, 62 mahasiswa penerima Djarum Beasiswa Plus mengikuti sesi Critical Writing dan Effective Oral Communication.
Margarita Astaman, penulis yang telah melahirkan tujuh buku membuka sesi Critical Writing dengan memperkenalkan dasar 5W 1H, yakni Who (siapa), What (apa), When (kapan), Where (di mana), Why (kenapa), dan How (bagaimana).
Berbicara sambil terus tersenyum, Margi, demikian ia dipanggil, mengingatkan peserta untuk tidak terjebak dengan berita-berita hoaks.
Ia menekankan, sebagai calon pemimpin di era industri 4.0, peserta harus selalu mengecek ulang setiap informasi. Tidak menelan mentah-mentah sehingga dalam hal ini, membutuhkan pola pikir kritis.
Margi lantas mengajak peserta bermain gim hoax-buster, menebak jika sebuah berita hoaks atau tidak. Ia menyarankan penerima informasi untuk setidaknya melakukan pengecekan fakta gambar atau narasumber, serta domain yang menampilkan berita tersebut.
Wanita yang juga seorang pengekspor buah itu memaparkan, ada sejumlah hal yang harus jadi perhatian sebelum membuat tulisan kritis.
"Yang pertama, audiens. Siapa pembaca saya? Lalu harus punya argumen pendukung yang bersifat fakta," kata Margie dalam sesi.
Poin ketiga, adalah balancing point. Penulis sebaiknya tidak bersikeras mempertahankan opini, namun harus berimbang dalam penyampaian dan tidak menyudutkan salah satu pihak.
Materi yang dibicarakan jadi lebih mendalam ketika Margi mulai mengungkap tentang struktur penulisan. Ia menegaskan, tulisan harus memiliki lead atau inti pemikiran yang disampaikan.
"Lead ini penting, karena akan jadi penentu dalam beberapa detik pertama, apakah pembaca akan meneruskan membaca atau tidak," ujarnya.
Margi menyebut latihan menulis kritis amat penting untuk pemimpin era industri 4.0, sekalipun hari ini hal-hal digital seperti YouTube menguasai.
"Justru di saat bentuk konten yang lebih singkat menjadi populer, kemampuan untuk membuat konten secara kritis, apapun bentuknya bakal menjadi pembeda yang menentukan kesuksesan. Jadi materi ini aku pilih bukan untuk menjadikan peserta penulis, melainkan supaya mereka bisa menghasilkan konten yang berbobot dan membantu pengambilan keputusan orang lain, di bidangnya masing-masing," katanya.
Margie melanjutkan, "Bahkan kalau nantinya berkarir jadi YouTuber, karena sudah biasa menulis kritis, bakal bisa menyusun konten yang tidak hanya pas di penonton, tetapi juga informatif dan kritis."
Bukan Sekadar Kata-kata
"There is no such thing as public speaking," kata Riko Anggara dari atas panggung Leadership Development.
Bagi Riko yang tak dapat mengucapkan huruf R dan telah lama berkecimpung sebagai pembawa berita televisi, penguasaan konten menjadi kunci percaya diri berbicara di depan publik.
"Yang penting isi ini, banyak baca, baca, baca," katanya sambil mengetuk kepala.
Ia menambahkan, "Kepercayaan diri dibangun dari seberapa kalian punya wawasan."
Riko mengaku memahami kegugupan peserta bila harus berbicara di depan umum. Namun, ia menolak menerima jika hal itu dijadikan alasan. Pengendalian diri ia sebut sebagai faktor penting.
Ketika menjadi pusat perhatian, kata Riko, kontak mata dan intonasi berbicara adalah hal yang harus dikuasai. Sehingga, audiens dapat memberi timbal balik karena merasa diajak bicara secara personal.
"Buat proses public speaking seintim ngobrol berdua," ujarnya.
Selain itu, gestur tubuh juga menjadi perhatian Riko. Untuk tampilan profesional, ia menjelaskan gerakan yang dilakukan harus solid dan tidak menggambarkan keraguan. Ia meminta beberapa orang peserta maju dan berbicara di atas panggung, sebelum memberi koreksi.
Menurut Riko, berbicara di depan publik bukan sekadar bercakap. Secara keseluruhan, pembicara sebaiknya memiliki kemasan yang baik dan menarik. Termasuk di dalamnya, mengetahui tiga tingkatan berbicara, yakni normatif, informatif, dan inspiratif.
Terlebih, pembicara harus bisa bertanggung jawab atas apapun yang dikatakan. Maka suara tak kalah penting untuk diperhatikan. Riko memberi contoh, ia memakai suara berbeda saat berbicara di acara formal kenegaraan dan ketika menjadi pembawa acara pernikahan.
"Kalau [bicara] di depan Presiden, ya harus formal. Kalau di depan kalian [peserta], anak-anak muda, saya harus menyesuaikan, lebih santai karena kalau formal, kalian enggak akan dengerin, bosan," ungkap RIko.
Critical Writing dan Effective Oral Communication menjadi materi penuh di hari kedua Leadership Development Djarum Foundation. Mendukung generasi muda untuk bersiap memimpin era industri 4.0, program ini dilengkapi oleh sesi Motivating and Inspiring Others oleh James Gwee pada hari berikutnya.
Sumber : cnnindonesia.com